Wisata Lembah Kalipancur, Semarang

ditulis oleh : Jomblo Terhormat 18 Januari 2013
KETIKA Menbudpar Jero Wacik memberi isyarat positif untuk perkembangan desa wisata di kawasan Kab. Semarang beberapa waktu lalu, maka banyak tumbuhlah desa wisata di wilayah ini.
Tapi yang terjadi kemudian adalah, konsep yang seragam, dan nyaris tak ada yang berbeda. Artinya, mereka hanya mengandalkan potensi keindahan alam, kuliner, atau mengangkat kearifan lokal.
Bermain dalam kondisi yang berbeda itulah, maka dalam waktu dekat di kota Semarang bakal terdapat tempat rekreasi yang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penelitian.
Lokasinya masih berada di dalam kota namun memiliki atmosfer pedesaan, yakni di kel. Kalipancur, Manyaran, Semarang. Untuk mencari lokasi ini pun tidak sulit. Letak persisnya di sebelah kiri sebelum jebatan Kalipancur.
Di sini dikembangkan konsep eduwisata, yakni wisata edukasi. Konsep itu diam-diam mulai dikembangkan Drh. Nugroho, salah seorang dokter hewan dan peneliti masalah peternakan asal Semarang, yang mendirikan tempat bernama Desa Wisata Lembah Kalipancur.
“Sebenarnya ini adalah cita-cita lama saya, bagaimana membuat sarana rekreasi yang sekaligus bisa memberi pendidikan kepada para pengunjungnya,” kata Drh. Nugroho, Minggu (17/7) saat mengajak CyberNews berkunjung ke “desa”nya.
Menempati lahan seluas 7 ha, dengan kontur tanah berbukit-bukit dan tidak jauh dari pusat kota Semarang ini, menjadi tempat ini bukan saja sebuah desa wisata tapi adalah desa yang banyak memberikan ilmu terutama untuk para pelajar atau mahasiswa yang ingin belajar banyak soal peternakan atau pertanian.
Sarana hidup.
Oleh pemiliknya Drh. Nugroho, pengajar senior fak peternakan Undip yang juga lulusan UGM (Universitas Gajah Mada) Jogja tahun 1965 ini, tanah yang semula berupa semak belukar dan merupakan hutan “gung lewang lewung”, kini dijadikan wilayah desa buatan, yang segala fasilitas dan sarana hidup sudah ada di sini.
Persisnya, menurut Eko Nugroho, MBA, salah satu anak Drh. Nugroho yang juga ikut mengelola, ayahnya ingin mengembangkan konsep kemandirian sebuah desa. “Jadi pengunjung di lingkungan ini bisa menghidupi diri sendiri. Karena di sini tersedia semua kebutuhan hidup tanpa harus mencari di luar,” tambah Eko Nugroho.
Awalnya sekitar 3 tahun lalu, untuk merintis itu semua, Nugroho bersama anaknya, Eko Nugroho mendirikan restoran. “Resto ini penting untuk pamasukan harian, lebih dari itu kami juga mengembangkan bagaimana semua sisa makanan di resto, kami olah lagi untuk dijadikan pakan ternak yang ada, terutama bebek,” kata Nugroho.
Soal peternakan, di lokasi itu kini telah mulai dibangun beberapa kandang untuk aneka jenis sapi (sapi Bali, sapi Jawa, sali limousin), kambing, kelinci, bebek, ayam, bahkan kuda. “Ya sebenarnya tempat ini sebagai showcase agar pengunjung bisa memilih langsung dan melihat wujud binatang aslinya,” kata Eka Nugroho, sang anak.
Sangkar raksasa.
Yang sekarang sudah tersedia di desa wisata itu adalah penangkaran rusa, burung kepodang dan burung elang. Kelak, beragam burung ini berada di tempat yang bernama “Green House”. Yakni berupa “sangkar” raksasa, namun sebenarnya tempat itu berupa ruang meeting yang disewakan umum.
Meski konsepnya sebagai eduwisata, pada setiap hari libur atau minggu, tempat ini sudah banyak didatangai pengunjung untuk sekadar makan, berenang, atau naik perahu. Hanya dengan Rp 5 ribu orang bisa naik perahu kecil mengelilingi danau buatan sepanjang 200 m.



Anda tidak perlu bingung mencari penginapan, karena di sekitar sini terdapat banyak Guest House Semarang , yang harganya terjangkau untuk para backpacker. Mulai dari 100ribu-180 ribu. Ayo Wisata ke Semarang.

0 komentar: