Dia Tak Lagi Mengumpat

ditulis oleh : Jomblo Terhormat 24 November 2008
Jakarta terik sekali siang itu. Debu jalanan, asap kendaraan ditambah lagi suara klakson yang bersahutan dan pengendara yang saling berebut mencari sedikit celah, merayap pelan untuk membebaskan diri dari kemacetan. Butuh kesabaran ekstra untuk dapat tetap berkepala dingin dalam kondisi semacam ini.
Saya masih duduk di sepeda motor. Berdua dengan seorang teman dalam perjalanan pulang. Alih-alih mencari jalan pintas yang sedikit bebas macet, kami malah terjebak di kawasan yang benar-benar padat.

Saya hanya penumpang, jadi rasanya kemacetan yang panjang ditambah kelakuan yang tanpa aturan dari pengemudi lain, tidak terlalu menuai kejengkelan. Tapi tidak dengan teman saya, mengendarai motor di tengah lalu lintas yang carut marut, sesekali keluar juga umpatan dari mulutnya.
Yang saya ingat, sejak lima tahun yang lalu, di awal-awal pertemanan kami, dia memang terbiasa mengumpat. Dia juga kerap menggoda saya. “Kacrut, umpatan model apaan tuh?”. Kalau memang ingin mengumpat, satu-satunya kata yang ada di kepala saya hanya satu, ya kacrut itu. Jangan tanya saya apa artinya. Kebalikannya, teman lama saya ini memiliki seribu satu kosa kata umpatan. Tersedia dalam beragam versi, baik dalam bahasa ibu atau dari bahasa asing.
Dan di Jakarta yang terik siang itu, dia lagi-lagi mengumpat; saat motor dari arah belakang mengambil jalannya. saat mobil di depan kami tidak memberi ruang gerak yang bisa diterabas sedikitpun. Tidak sedikitpun dan membuat kami menunggu. Saat laki-laki berbadan tegap, tiba-tiba berjalan mendekat. Dia menahan laju motor, menjaga keseimbangan dan tibalah ia pada puncak kekesalannya “Eh… jalan nggak liat-liat, buta mata elo!,” katanya setengah berteriak, suaranya bersaing dengan deru kendaraan yang berseliweran.
Laki-laki berbadan tegap itu berhenti. Dari belakang hanya punggungnya yang tampak. Ia memutar tubuhnya. Memandang kami. Bukan, bukan memandang. Mungkin seperti mencari arah suara. Ia, laki-laki berbadan tegap, tuna netra tanpa tongkat, terpisah dengan temannya, seorang tuna netra dengan tongkat, yang berdiri beberapa langkah darinya.
Saya diam. Teman saya juga diam. Turun dari motor saya dekati laki-laki berbadan tegap itu. Saya pegang tangannya. “Bapak mencari teman Bapak?”. Laki-laki berbadan tegap mengangguk. “Jalannya lagi ramai mbak, tadi kami terpisah”. Saya pandu ia menuju ke arah temannya. “Ini teman Bapak, hati-hati Pak”. Si laki-laki berbadan tegap tersenyum. Sekarang, tangan keduanya bergenggaman. “Terima kasih,” ujarnya pelan.
Dari jauh saya lihat teman saya meninggalkan motornya. Berjalan menuju ke arah kami. “Maaf, saya…,” ucapnya pada laki-laki berbadan tegap. Suara teman saya tercekat, tidak kuasa meneruskan perkataannya. Berdua kami melihat, laki-laki berbadan tegap itu meninggalkan kami. Dua tuna netra dengan satu tongkat berjalan kembali, menyusuri Jakarta siang itu.
Teman saya masih mematung. Berdiri. Dengan raut muka yang bingung. Matanya mengerjap. Saya raih tangannya. Menguatkan genggaman dan memandangnya lekat. Saya juga kehabisan kata. Dan Jakarta makin terasa terik …
Ritme Jakarta yang cepat pelan-pelan melonggarkan ikatan kami. Sudah lama sekali saya tidak bertemu dengan teman saya ini. Terakhir bertemu, kami menghabiskan malam dengan bercerita. Semua masih sama. Dia masih menaruh hati pada gunung, laut, bercinta dengan tebing, petualang yang tidak pernah berhenti menorehkan jejaknya. Semua masih sama, tertawa yang terbahak-bahak, kesukaannya pada kaus oblong yang dipadankan dengan celana gunung. Semua masih sama, tapi… tidak. Ada satu yang berubah. Yang saya tahu, sejak kejadian di Jakarta yang terik siang itu, dia tidak lagi mengumpat.

0 komentar: