KETIKA Menbudpar Jero Wacik memberi isyarat positif untuk
perkembangan desa wisata di kawasan Kab. Semarang beberapa waktu lalu,
maka banyak tumbuhlah desa wisata di wilayah ini.
Tapi yang terjadi
kemudian adalah, konsep yang seragam, dan nyaris tak ada yang berbeda.
Artinya, mereka hanya mengandalkan potensi keindahan alam, kuliner, atau
mengangkat kearifan lokal.
Bermain dalam kondisi yang berbeda
itulah, maka dalam waktu dekat di kota Semarang bakal terdapat tempat
rekreasi yang berfungsi sebagai sarana pendidikan dan penelitian.
Lokasinya
masih berada di dalam kota namun memiliki atmosfer pedesaan, yakni di
kel. Kalipancur, Manyaran, Semarang. Untuk mencari lokasi ini pun tidak
sulit. Letak persisnya di sebelah kiri sebelum jebatan Kalipancur.
Di
sini dikembangkan konsep eduwisata, yakni wisata edukasi. Konsep itu
diam-diam mulai dikembangkan Drh. Nugroho, salah seorang dokter hewan
dan peneliti masalah peternakan asal Semarang, yang mendirikan tempat
bernama Desa Wisata Lembah Kalipancur.
“Sebenarnya ini adalah
cita-cita lama saya, bagaimana membuat sarana rekreasi yang sekaligus
bisa memberi pendidikan kepada para pengunjungnya,” kata Drh. Nugroho,
Minggu (17/7) saat mengajak CyberNews berkunjung ke “desa”nya.
Menempati
lahan seluas 7 ha, dengan kontur tanah berbukit-bukit dan tidak jauh
dari pusat kota Semarang ini, menjadi tempat ini bukan saja sebuah desa
wisata tapi adalah desa yang banyak memberikan ilmu terutama untuk para
pelajar atau mahasiswa yang ingin belajar banyak soal peternakan atau
pertanian.
Sarana hidup.
Oleh pemiliknya Drh. Nugroho, pengajar
senior fak peternakan Undip yang juga lulusan UGM (Universitas Gajah
Mada) Jogja tahun 1965 ini, tanah yang semula berupa semak belukar dan
merupakan hutan “gung lewang lewung”, kini dijadikan wilayah desa
buatan, yang segala fasilitas dan sarana hidup sudah ada di sini.
Persisnya,
menurut Eko Nugroho, MBA, salah satu anak Drh. Nugroho yang juga ikut
mengelola, ayahnya ingin mengembangkan konsep kemandirian sebuah desa.
“Jadi pengunjung di lingkungan ini bisa menghidupi diri sendiri. Karena
di sini tersedia semua kebutuhan hidup tanpa harus mencari di luar,”
tambah Eko Nugroho.
Awalnya sekitar 3 tahun lalu, untuk merintis itu
semua, Nugroho bersama anaknya, Eko Nugroho mendirikan restoran. “Resto
ini penting untuk pamasukan harian, lebih dari itu kami juga
mengembangkan bagaimana semua sisa makanan di resto, kami olah lagi
untuk dijadikan pakan ternak yang ada, terutama bebek,” kata Nugroho.
Soal
peternakan, di lokasi itu kini telah mulai dibangun beberapa kandang
untuk aneka jenis sapi (sapi Bali, sapi Jawa, sali limousin), kambing,
kelinci, bebek, ayam, bahkan kuda. “Ya sebenarnya tempat ini sebagai
showcase agar pengunjung bisa memilih langsung dan melihat wujud
binatang aslinya,” kata Eka Nugroho, sang anak.
Sangkar raksasa.
Yang
sekarang sudah tersedia di desa wisata itu adalah penangkaran rusa,
burung kepodang dan burung elang. Kelak, beragam burung ini berada di
tempat yang bernama “Green House”. Yakni berupa “sangkar” raksasa, namun
sebenarnya tempat itu berupa ruang meeting yang disewakan umum.
Meski
konsepnya sebagai eduwisata, pada setiap hari libur atau minggu, tempat
ini sudah banyak didatangai pengunjung untuk sekadar makan, berenang,
atau naik perahu. Hanya dengan Rp 5 ribu orang bisa naik perahu kecil
mengelilingi danau buatan sepanjang 200 m.
Anda tidak perlu bingung mencari penginapan, karena di sekitar sini terdapat banyak Guest House Semarang , yang harganya terjangkau untuk para backpacker. Mulai dari 100ribu-180 ribu. Ayo Wisata ke Semarang.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kategori
- Agama (4)
- Did You Know (4)
- Earn Money (1)
- Gaya Hidup (6)
- Golden Ways (1)
- Home Improvement (1)
- Hosting (1)
- Hotel (136)
- internet (2)
- Karir (4)
- Kesehatan (1)
- Keuangan (1)
- Refreshment (6)
- Renungan (12)
- Travel (1)
- Web Design (1)
- Wisata (8)
0 komentar:
Posting Komentar